GASINGNEWS.COM, YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi sorotan publik usai digugat secara perdata oleh seorang advokat asal Makassar, Komardin, ke Pengadilan Negeri (PN) Sleman.
Gugatan ini bukan perkara biasa. Komardin menuntut ganti rugi terhadap negara senilai Rp69 triliun, serta menyebutkan potensi kerugian imateriil yang bahkan mencapai Rp1.000 triliun.
Gugatan ini imbas dari polemik dugaan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang menurutnya belum pernah dijelaskan secara terbuka oleh pihak kampus.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Gugatan ini didasarkan pada tuduhan bahwa UGM tidak transparan dalam memberikan informasi terkait dokumen akademik Jokowi, termasuk ijazah dan skripsi.
Komardin menilai ketertutupan ini menyebabkan kegaduhan nasional, yang turut berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Selama ini UGM tidak pernah terbuka. Kita ingin semuanya terang benderang di pengadilan. Skripsi palsu, ijazah palsu—itu jadi gaduh, nilai tukar rupiah anjlok, sektor ekonomi terganggu,” tegas Komardin dalam keterangannya.
Ia menyebut bahwa nilai tukar rupiah yang melemah dari Rp15.500 menjadi Rp16.700 per dolar AS dalam dua tahun terakhir menyebabkan potensi pembengkakan cicilan utang negara.
Menurutnya, jika isu ini terus dibiarkan, nilai tukar rupiah bisa menyentuh angka Rp20.000 per dolar AS dan berpotensi menyebabkan kolapsnya ekonomi Indonesia.
UGM Merespons dengan Hati-hati
Menanggapi gugatan tersebut, Biro Hukum dan Organisasi UGM, melalui Kepala Biro Veri, menyatakan bahwa pihak kampus tengah mempelajari substansi gugatan secara seksama dan siap menghadapinya di meja hijau.
“Prinsipnya, UGM mencermati gugatan ini secara serius dan akan menghadapi proses hukum yang berlaku,” ujar Veri dalam keterangannya, Kamis (15/5/2025).
Veri juga menyoroti pentingnya legal standing dari pihak penggugat.
Menurutnya, setiap orang memang berhak menggugat, tetapi harus dibuktikan dasar dan legalitasnya di pengadilan.
“Gugatan balik adalah opsi yang dapat diambil, namun saat ini kami fokus terhadap substansi gugatan utama,” tambahnya.
Tuntutan untuk Kepentingan Negara?
Menariknya, Komardin menyebut bahwa tuntutan ganti rugi tersebut tidak untuk dirinya secara pribadi, melainkan untuk negara.
Ia meyakini bahwa kerugian negara akibat kegaduhan ini harus dipertanggungjawabkan oleh UGM.
“Kerugian materiil Rp69 triliun, dan imateriil Rp1.000 triliun. Itu bukan untuk saya, tapi untuk negara,” jelas Komardin.
Dengan latar belakang sebagai advokat dan pengamat sosial, Komardin mengaku tidak memiliki urusan pribadi dengan Jokowi.
Baginya, gugatan ini murni untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan sebesar UGM bersikap transparan dan bertanggung jawab atas munculnya polemik yang berdampak luas.
Isu Publik yang Mencuat
Kasus ini kembali memunculkan perdebatan seputar transparansi data akademik tokoh publik di Indonesia.
Meski isu keabsahan ijazah Jokowi bukan hal baru, gugatan resmi terhadap UGM dalam jumlah fantastis menjadi babak baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Banyak pihak menilai bahwa langkah Komardin dapat menjadi preseden penting terkait hak masyarakat dalam mengakses informasi publik yang berkaitan dengan pejabat negara.
Namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa gugatan ini berpotensi mengganggu stabilitas dan nama baik lembaga pendidikan.
Sampai berita ini diturunkan, proses hukum masih berjalan di PN Sleman. Pihak UGM belum mengambil langkah hukum lanjutan, dan Komardin bersikukuh bahwa pengadilan adalah tempat yang tepat untuk menyelesaikan kegaduhan nasional ini (*).
Editor: Arya Rahman