GASINGNEWS.COM – Di balik gelar “Bapak Pendidikan Nasional”, tak banyak yang tahu bahwa Ki Hajar Dewantara sejatinya tidak pernah menyelesaikan pendidikan tinggi.
Sosok yang hari lahirnya diperingati setiap 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional ini justru hanya sempat mengenyam bangku sekolah dasar, dan bahkan pernah putus kuliah.
Lalu, bagaimana mungkin seseorang dengan latar pendidikan terbatas mampu menggagas sistem pendidikan nasional yang inklusif dan visioner?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lahir dengan nama Soewardi Soeryaningrat pada 2 Mei 1889, ia berasal dari keluarga bangsawan keraton Paku Alam, Yogyakarta.
Namun nasib ekonomi keluarganya berubah drastis, membuatnya tak lagi memiliki hak istimewa layaknya anak-anak aristokrat lainnya.
Alih-alih dikirim belajar ke Belanda atau masuk sekolah tinggi bergengsi seperti Hoogere Burgerschool (HBS), Soewardi hanya bisa menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS), sebuah sekolah rendah yang saat itu lebih banyak diperuntukkan bagi anak-anak Eropa.
ELS yang ia masuki sebenarnya tergolong sekolah elite untuk ukuran bumiputra.
Hanya segelintir anak pribumi beruntung yang diperbolehkan masuk, dan itu pun dengan syarat ketat. Di sanalah Soewardi mengukir dasar pendidikannya.
Setelah lulus, ia melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sebuah sekolah kedokteran bagi pribumi yang setara dengan universitas masa kini.
Namun langkahnya terhenti di tengah jalan.
Tubuh yang rapuh membuatnya sering jatuh sakit dan absen terlalu lama.
Beasiswa dicabut, dan Soewardi pun harus meninggalkan bangku kuliah tanpa gelar apa pun.
Namun kegagalan akademik itu tidak memadamkan semangatnya.
Justru dari keterbatasan itulah semangat perjuangan lahir.
Ia meniti jalan hidup dari buruh pabrik gula, juru tulis di perkebunan, hingga menjadi wartawan.
Lewat pena, ia menyuarakan ketidakadilan kolonial, membela hak pribumi untuk belajar dan berpikir merdeka.
Puncak perjuangannya di bidang pendidikan lahir ketika ia mendirikan Taman Siswa pada 1922 di Yogyakarta.
Sekolah ini menjadi pelopor sistem pendidikan alternatif yang tak memandang ras, kelas, maupun status sosial.
Di dalamnya, Soewardi yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara—mengembangkan filosofi pendidikan yang kini abadi: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Sebuah panduan mendidik yang menempatkan guru sebagai panutan, penggugah semangat, dan pemberi dorongan.
Tanpa gelar akademik tinggi, Ki Hajar justru melahirkan warisan intelektual yang menjangkau generasi demi generasi.
Ia membuktikan bahwa kecerdasan dan pengaruh tidak semata-mata diukur dari panjangnya pendidikan formal, tapi dari kemauan untuk terus belajar dan mengabdi.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959. Beberapa bulan setelahnya, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghormatan abadi atas jasanya membangun pondasi pendidikan Indonesia yang merdeka dan manusiawi (*).
Editor: Arya Rahman