JAKARTA – Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, kembali melontarkan kritik tajam terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Dalam dialog publik bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo”, yang digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis 17 April 2025, Mahfud menyebut telah terjadi fenomena otokratik legalisme, di mana hukum dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan.
Menurut Mahfud, otokratik legalisme adalah kondisi ketika penguasa menginginkan sesuatu, namun aturan hukumnya belum ada, sehingga hukum dibuat atau diubah secara diam-diam demi melancarkan agenda politik tertentu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan bahwa ini merupakan bentuk penyimpangan serius dalam proses hukum dan demokrasi.
“Jadi otokratik legalism itu kalau penguasa ingin sesuatu, tapi hukumnya tidak ada, maka hukumnya dibuat agar sesuatu itu menjadi ada. Tapi buatnya slintutan gitu, diam-diam,” ujar Mahfud melalui kanal YouTube resminya, Minggu 20 April 2025.
Ia juga menyoroti kecenderungan perubahan hukum yang dilakukan tidak secara transparan dan cenderung manipulatif.
Bahkan, jika perubahan aturan tidak bisa dilakukan, maka penguasa akan mencari jalan lain, seperti mengajukan pembatalan ke Mahkamah Konstitusi.
Lebih lanjut, Mahfud mencontohkan bentuk solidaritas kalap yang terjadi saat institusi peradilan terseret kasus hukum.
Ia menyebut, banyak pihak yang secara tiba-tiba tampil membela hanya karena ketakutan akan ikut terseret.
“Yang lain membela-bela semua, karena takut ketangkap juga. Yang di atas Mahkamah Agungnya bilang, ‘itu kan sudah ikut prosedur, sudah aturan, kalau mau ditangkap, ditangkap saja, nanti kami pecat,’” kata Mahfud dengan nada sinis.
Melihat situasi yang menurutnya sudah sangat darurat, Mahfud mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk tidak tinggal diam.
Ia menilai Presiden perlu mengambil langkah luar biasa untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum.
“Presiden harus mengambil keputusan-keputusan yang darurat. Ndak bisa dikembalikan pada mekanisme-mekanisme itu. Mekanisme itu sudah busuk semua, orangnya busuk, peraturannya busuk,” tegas Mahfud.
Pernyataan Mahfud ini mengundang perhatian publik karena dinilai sebagai sinyal peringatan keras atas memburuknya tatanan hukum di awal masa pemerintahan Prabowo.
Ia mengingatkan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan, melainkan harus menjadi penopang keadilan dan demokrasi.
Dengan latar belakangnya sebagai mantan hakim Mahkamah Konstitusi dan akademisi, suara Mahfud memiliki bobot tersendiri.
Ia berharap kritik ini dapat menjadi momentum evaluasi serius bagi pemerintahan ke depan untuk membangun sistem hukum yang bersih, transparan, dan berintegritas (*).
Arya | Editor: Yudi Kurniawan